Mengurai pola pikir para tokoh dari berbagai zaman — bukan untuk memuja, tapi untuk memetik cara mereka melihat dunia dan menerapkannya ke hidup kita hari ini.
Belajar dari Imam Syafi’i
Dalam sejarah Islam, ada banyak sosok ulama besar yang ilmunya menjadi cahaya bagi generasi setelahnya. Namun, di antara mereka, nama Imam Syafi’i selalu memiliki tempat istimewa. Bukan hanya karena keilmuannya yang mendalam, tetapi karena keteladanan sikapnya terutama dalam hal kesabaran menuntut ilmu dan kerendahan hati dalam berpendapat
Imam Syafi’i — atau lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i— lahir di Gaza, Palestina , pada tahun 150 H (767 M). Sejak kecil, beliau hidup dalam kesederhanaan bersama ibunya yang salehah. Namun dari lingkungan yang sederhana itu, lahirlah tekad besar untuk menuntut ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah.
Beliau telah menghafal Al-Qur’an sejak kecil, kemudian melanjutkan dengan menghafal kitab *Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Demi menuntut ilmu, beliau rela berpindah dari satu negeri ke negeri lain — dari Mekkah ke Madinah, Yaman, Irak hingga Mesir— dengan bekal yang sangat terbatas. Semua itu dijalani dengan kesabaran dan semangat yang tak pernah padam.
Ada satu kisah yang sering disebut para ulama tentang adab beliau. Saat belajar kepada Imam Malik, beliau membalik lembaran kitab dengan sangat pelan, agar suara kertas tidak mengganggu sang guru. Begitulah halusnya budi pekerti beliau terhadap ilmu dan pengajarnya.
Tentang perjuangan menuntut ilmu, Imam Syafi’i pernah mengingatkan:
مَنْ لَمْ يَذُقْ ذُلَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً، تَجَرَّعَ ذُلَّ الْجَهْلِ طُولَ حَيَاتِهِBarang siapa yang tidak merasakan pahitnya belajar walau sesaat, maka ia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Kata-kata itu sederhana, tapi begitu dalam. Beliau mengingatkan bahwa ilmu tidak akan datang kepada orang yang cepat menyerah. Rasa lelah, susah, dan waktu panjang yang dihabiskan untuk belajar — semua itu adalah bagian dari jalan kemuliaan.
Namun, di balik kecerdasannya yang luar biasa, Imam Syafi’i juga dikenal sangat rendah hati. Dalam menghadapi perbedaan pendapat, beliau berkata:
قَوْلِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ، وَقَوْلُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابPendapatku benar, namun mungkin salah. Pendapat orang lain salah, namun mungkin benar.
Sebuah kalimat yang menggambarkan keluasan hati dan kebijaksanaan beliau. Betapa jarangnya kita menemukan orang berilmu tinggi tapi tetap penuh rendah hati seperti beliau — mau mengakui bahwa kebenaran bisa juga datang dari orang lain.
Imam Syafi’i wafat di Mesir tahun 204 H (820 M) Meski telah tiada lebih dari seribu tahun yang lalu, warisan ilmunya masih hidup dalam hati jutaan umat Islam di seluruh dunia melalui Mazhab Syafi’i. Tapi lebih dari sekadar warisan hukum, beliau juga meninggalkan warisan akhlak dan keteladanan**: bahwa ilmu sejati hanya akan berbuah indah bila ditumbuhkan dengan kesabaran dan disiram dengan kerendahan hati. ✨
Renungan:
Di zaman yang serba cepat ini, kita sering ingin hasil instan belajar cepat, paham cepat, sukses cepat. Tapi Imam Syafi’i mengajarkan bahwa
ilmu yang berkah lahir dari kesabaran dan adab, bukan dari keinginan untuk segera terlihat pintar
Semoga kita bisa meneladani sedikit dari akhlak beliau: sabar dalam belajar, rendah hati dalam berpendapat, dan tulus dalam mencari ridha Allah. 🌿
Ikuti Kaffah Media di Telegram
Dapatkan artikel dakwah, kajian, dan berita Islami terbaru langsung di ponsel Anda.
✦ Kaffah Media — Wawasan, Dakwah, Kajian, dan Berita Islami ✦
